
Tentang luka masa kecil, kematian emosi, dan bagaimana aku memilih Islam dengan sadar. Ini bukan pemulihan linear. Ini perlawanan.
Jiwa tidak lahir dalam keadaan utuh. Ia lahir dari retakan. Di full episode perdana The Undying Soul ini, Wanda membagikan kisah nyata tentang luka masa kecil, pengkhianatan spiritual, dan kematian emosional yang membawanya memilih Islam dengan sadar. Ini bukan kisah pemulihan yang linear. Ini adalah pertemuan dengan iman, keluarga, dan patriarki. Sebuah ajakan untuk mempertanyakan apa yang diwariskan dan mulai memilih apa yang benar-benar sejalan. Di sinilah perjalanan dimulai.
Support my work and this movement
Patreon: https://www.patreon.com/wrzky
ko-fi: https://ko-fi.com/wrzky
Selamat datang kembali di The Undying Soul. Bersama aku, Wanda, sebagai host kalian.
Per aspera ad astra. Melalui kesulitan menuju bintang-bintang.
Dan memang… di malam tergelaplah kita menemukan cahaya dalam jiwa kita.
Sebelum kita mulai episode ini, aku mau kasih tahu sesuatu yang penting. Podcast ini tentang perjalanan pribadi aku.
Tentang pengalaman, perjuangan, dan bagaimana aku tumbuh.
Ini bukan untuk nyerang atau kritik siapa pun, termasuk iman atau pilihan mereka.
Tujuanku cuma mau sharing apa yang aku pelajari dari semua tantangan yang aku hadapi, dan memulai obrolan yang berarti tentang iman, identitas, dan proses pemulihan.
Aku berharap ceritaku bisa nyambung sama beberapa dari kalian dan ngasih inspirasi buat refleksi, koneksi, atau bahkan pemulihan dalam hidup kalian.
Episode ini adalah awal dari perjalanan panjang kita.
Sebuah perjalanan yang mungkin gak ada yang bisa prepare kita untuk apa yang akan datang.
Ini bukan perjalanan menuju pemulihan yang linear dan indah.
Ini bukan perjalanan yang lurus-lurus saja.
Ini perjalanan yang penuh luka, kemarahan, dan pertanyaan.
Kenapa… hal-hal yang kita gak bisa nemu jawabannya dengan mudah justru malah selalu terjadi?
Bertahan hidup itu gak selalu heroik.
Kadang berantakan, menyakitkan, dan gak selalu berawal dari harapan.
Rebirth atau kelahiran kembali juga bukan tentang pencerahan atau hidayah yang tiba-tiba aja datang.
Kadang, rebirth bisa jadi hanya sekedar mutusin untuk memilih hidup di hari itu.
Dan berbicara tentang kelahiran kembali, kita juga harus berbicara tentang kematian.
Episode ini bukan hanya tentang bagaimana aku nemuin kembali jati diri. Tapi juga tentang kematian yang ga selalu berarti berhenti bernapas.
Ini tentang kematian emosi. Kematian harapan. Kematian identitas.
Gimana caranya sesuatu yang sudah mati bisa hidup kembali?
Aku mau ajak kalian untuk mengingat kembali masa kecil kalian. Antara SD, sampe awal SMP.
Masa-masa sebelum dunia terasa terlalu berat.
Untuk sebagian besar anak, mungkin krisis terbesar waktu itu seputar PR, tugas kelompok yang gak adil, atau naksir teman sekelas.
Tapi untuk aku, krisis terbesar saat itu bukan soal PR atau tugas kelompok.
Tapi tentang kehilangan dunia yang pernah aku percayai.
Kita semua lahir dalam budaya atau ajaran tertentu. Tapi, gimana kalau keyakinan yang diwariskan justru jadi sumber luka?
Aku mau mulai dengan sebuah pertanyaan yang mungkin gak semua orang berani jawab.
Bagi Muslim yang lahir dari keluarga Muslim, kapan Islam menjadi agama yang benar-benar kalian pilih dan amalkan?
Pernah gak kalian meragukan ajaran yang pertama kali kalian terima?
Buat aku… semuanya berubah saat aku umur 10 tahun.
Hari di mana ibu aku, dengan air mata yang gak bisa dia tahan lagi, bilang kalau bapakku menikah lagi.
Tanpa sepengetahuannya.
Aku pun bertanya, “Kenapa?”
Kenapa seseorang yang seharusnya melindungi, justru jadi orang yang paling menyakitkan?
Aku masih inget gimana Ibu aku ngejawab dengan penuh kebencian yang saat itu tidak aku mengerti, “Karena dibolehin di Islam. Nabi Muhammad aja istrinya empat!”
…
I would be lying if I said my 10-year-old self expected that answer.
Di saat itu juga, ada sesuatu dalam diri aku yang mati.
Kepercayaan ke bapak.
Kepercayaan ke konsep keluarga.
Bahkan, kepercayaan ke agama.
Baru setelah hampir dua dekade sejak kejadian itu, aku sadar bahwa trauma dan keyakinan sering kali bersinggungan.
Kadang, kita nggak sadar kalau cara kita menyalahkan diri sendiri sebenernya berasal dari trauma.
Kita tumbuh dalam budaya yang ngajarin buat selalu introspeksi, tapi seringnya malah kebablasan jadi self-blame.
Aku pernah ngerasa kayak gini juga, dan makin ke sini, aku sadar kalau ini bukan sekadar kebiasaan—tapi sesuatu yang tertanam dari pengalaman dan lingkungan kita.
Di Episode 0 – The Beginning, aku sempat ngomongin gimana trauma bukan cuma mempengaruhi hubungan kita sama orang lain, tapi juga sama diri sendiri.
Dan self-blame ini lah salah satu buktinya.
Kita belajar buat ragu sama perasaan sendiri, ngegaslight diri sendiri sebelum orang lain sempat ngomong apa-apa.
Dan kalo kita nggak nyadar, kita bisa terus terjebak dalam siklus ini.
Pikiran-pikiran yang ditanamkan untuk introspeksi diri seringnya dibungkus dengan nasihat-nasihat agama yang ngebuat kita ngerasa “salah” untuk memiliki perasaan tertentu. Padahal reaksi emosi dan perasaan kita itu wajar dan manusiawi.
Jadi, gimana kalau trauma dan keimanan kita pada agama justru saling melukai?
Ketika kepercayaan yang seharusnya memberi perlindungan justru jadi sumber luka,
aku mulai mempertanyakan segalanya. Salah satunya, Islam.
Aku belajar Islam dari Ustadzah di dekat rumah sejak umur 6 tahun. Belajar cara baca Al-Qur’an, cara sholat, doa-doa harian. Tapi nggak pernah ada yang ngajarin tentang maknanya.
Islam yang aku tahu waktu itu cuma tentang bagaimana menjalankan, bukan memahami.
Dengan kata lain, orang tua aku ga pernah ngajarin aku soal agama.
Dan cara ibu aku ngejawab pertanyaan aku saat itu… adalah pelajaran agama pertama yang aku terima.
Jadi apa maksudnya bapak ngebandingin dirinya dengan Rasulullah SAW?
Laki-laki yang gak pernah ngajarin agama ke anak-anaknya, tapi merasa berhak nikmatin privilege agama ini hanya karena dia laki-laki?
Di titik itu, bapak bukan lagi sosok pahlawan di mataku.
Aku mungkin belum ngerti Islam sedalam sekarang, tapi somehow I knew.
Aku tahu apa yang bapak lakukan itu gak benar.
Dan somehow I knew…
That’s not what polygamy is about.
Dan entah gimana, aku selalu tau kalau Islam tidak akan memperlakukan perempuan seperti ini.
Dan sejak hari itu, aku mulai belajar Islam bukan untuk memahami bapakku.
Tapi untuk membuktikan bahwa dia salah.
Dan di titik itulah…
Aku benar-benar memilih Islam.
Tapi pemilihan itu juga membuka luka lain…
Karena ketika aku semakin memahami Islam, aku juga semakin sadar bahwa banyak dari kita yang dibesarkan dengan ajaran yang lebih banyak berakar pada budaya patriarki dibandingkan ajaran Islam itu sendiri.
Karena pada kenyataannya, poligami nggak sesederhana itu.
Dalam pemahaman yang diajarkan oleh Dr. Amina Wadud, seorang cendekiawan Islam feminis, dalam bukunya Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective, beliau menjelaskan—
bahwa poligami dalam Islam bukanlah hak mutlak laki-laki, melainkan solusi sosial dalam konteks tertentu, dengan syarat ketat dalam Al-Qur’an, yang sering diabaikan, terutama dalam budaya patriarkal kita.
Allah bahkan memberi syarat di Surat An-Nisa ayat ke-3: “Jika kamu tidak bisa berlaku adil, maka cukup satu.”
Tapi sayangnya, konsep keadilan ini selalu diabaikan, karena di adat ketimuran kita, perempuan selalu berada di bawah laki-laki dengan segala pembenarannya.
Dan ibu… bukan cuma meneruskan siklus itu.
Ketika dia diperlakukan dengan ketidakadilan, cara dia memperlakukan anak-anaknya malah ngajarin untuk nerima, bukan melawan.
Dan yang paling nyakitin adalah saat keluarga dari sisi bapak nyalahin ibu atas perbuatan bapak—seolah semua kesalahan laki-laki itu harus ditanggung oleh perempuan.
Ibu nggak cuma meneruskan siklus penyalahgunaan agama yang dinormalisasi masyarakat, tapi juga ngegunainnya sebagai alat pembenaran atas perlakuannya ke aku dan kakak, seperti dirinya diperlakukan oleh keluarga dari pihak bapak.
Tapi secara bersamaan, ibu juga bergantung pada anak-anak perempuannya untuk memenuhi kebutuhan emosionalnya.
Ibu seorang wanita 40 tahun menuntut kebutuhan emosionalnya dari anak berusia 10 dan 13 tahun, dengan dalih “karena kalian perempuan.”
Menuntut agar kebutuhan emosionalnya dipenuhi oleh anak yang sudah terbiasa jadi tempat pelampiasan emosi sejak taman kanak-kanak.
Setelah dewasa, aku sadar bahwa trauma masa kecil aku bukan cuma dari kekerasan emosional, tapi juga rohani.
My journey as a Muslim is that of a soul. It crashed, it burned, it rose again. It felt like my soul had died and been reborn from the dead multiple times throughout this lifetime alone.
Sebelum aku mengakhiri bagian ini, aku mau kalian renungkan satu hal:
Kapan sebenarnya kita mulai memilih keyakinan sendiri?
Apakah apa yang kita terima sejak lahir benar-benar milik kita, atau hanya warisan yang harus kita teruskan?
Dengan segala keraguan dan luka yang aku rasakan, aku mulai sadar bahwa dengan mempertanyakan segalanya, kita bisa menemukan kebenaran sejati.
Kalau kalian relate dengan ceritaku, feel free untuk DM aku di Instagram atau mention aku di Threads; @theundyingsoulpod atau @wrzky. Aku pengen denger cerita kalian, karena setiap dari kita punya kisah yang harus didengar.
Dan kalau kalian merasa perjalanan ini menggugah dan ingin jadi bagian dari gerakan ini, kalian bisa subscribe Patreon mulai $6 atau setara 90ribuan rupiah per bulan, atau berdonasi lewat Ko-fi.
Dukungan kalian bukan cuma bantu mempertahankan podcast ini, tapi juga memperkuat gerakan edukasi dan kesadaran kolektif untuk melawan normalisasi kekerasan, stigma kesehatan mental, dan budaya yang membungkam suara-suara kita.
Sekecil apa pun dukungannya, itu sangat berarti buatku. Link-nya ada di deskripsi ya…
Makasih udah dengerin…
Ini baru awal. Di episode berikutnya, aku bakal cerita lebih dalam tentang bagaimana trauma membentuk persepsi aku tentang agama, peran gender, dan realita di masyarakat—serta bagaimana aku mulai menemukan Islam dan jati diriku sendiri.
Sampai jumpa di episode selanjutnya. Wassalamualaikum.