Assalamu’alaikum. Hi, hi~ Welcome to the first episode of The Undying Soul, with me Wanda, as your host. Honestly, aku nggak tahu gimana caranya mulai ini dengan kata-kata yang sempurna, but I do know one thing—I am here because I survived. I’ve been through hell, and somehow, I’m still here. Aku penyintas. Trauma, abuse, ekspektasi masyarakat, tekanan budaya—semuanya pernah nyeret aku ke titik di mana aku ngerasa hidup ini nggak punya arti lagi. Aku tumbuh di lingkungan yang seakan punya hak atas diri aku dan hidup aku, tubuh aku, dan bahkan pikiran aku sendiri. Dan aku tahu, banyak dari kalian yang ngerasa hal yang sama. Podcast ini bukan sekadar tempat buat ngobrol santai tentang trauma dan healing. Ini tentang aku. Tentang kita. Tentang bagaimana kita bisa berdiri lagi setelah jatuh berkali-kali. I’ve been there, and I get it. Segment 1: Kenapa Aku Ada di Sini Who even am I? Aku adalah seseorang yang tumbuh dengan abuse yang dikemas dengan kiasan—“demi kebaikan kamu.” I lived with a constant phantom pain deep within me. Seolah selalu ada rasa “sakit” yang menemani, tapi aku ga tau sakitnya dimana. Ada rasa bersalah, resentment, malu, kecewa, yang bercampur aduk jadi persistent nagging feelings in my chest. Aku pernah percaya kalau aku harus diam, harus sabar, harus kuat. Aku udah melewati fase menyalahkan diri sendiri, pura-pura semuanya baik-baik aja, penganut toxic positivity, sampai akhirnya aku sadar—No, I don’t have to live this way. Aku nggak harus hidup kayak gini. Aku pernah ada di titik di mana aku nggak tahu lagi caranya bertahan. Aku udah bersimpuh, bersujud di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala, mengakrabkan diri kembali kepada agama. I’ve been at the point where I knew my purpose as a Muslim in this world, and yet I questioned, ‘what else is there? And why does this pain linger?’ Kemudian aku pun mulai mempertanyakan semuanya—dari agama sampai harga diri aku sendiri. Tapi di situ juga aku nemuin kekuatan yang nggak pernah aku kira aku punya. Segment 2: Kenapa Aku Bikin Podcast Ini Aku bikin ini karena aku tahu rasanya nggak punya ruang buat cerita. Aku tahu gimana rasanya selalu dibilang kurang bersyukur atau kurang iman, padahal yang aku hadapi bukan soal kurang bertawakal dan berdoa, tapi luka yang nyata. Sebagai perempuan Muslim, neurodivergent, dan penyintas, aku ngerti bahwa stigma itu nyata. Di sini, aku mau kita bisa ngobrol jujur—tentang gimana kita bisa reclaim cerita kita sendiri, tentang gimana trauma membentuk cara kita hidup, membentuk persepsi realita, gimana kita bisa mulai healing dengan cara kita sendiri, gimana kita bisa lepas dari ekspektasi masyarakat dan hidup untuk kita sendiri— because forever is a long time and life is too short to waste on someone else’s standard of happiness. Segment 3: Apa aja yang Bakal Kita Obrolin di Sini? Setiap episode nanti, aku bakal cerita tentang: Gimana trauma mempengaruhi hubungan kita, bukan cuma sama orang lain tapi sama diri sendiri. Gimana kita bisa bikin batasan tanpa ngerasa bersalah. Gimana budaya kita sering kali menormalisasi kekerasan, dan kenapa kita harus mulai mempertanyakan semuanya. Aku juga bakal banyak ngobrol tentang pengalaman aku sebagai perempuan yang hidup dengan ADHD dan autisme di tengah budaya yang nggak ngerti, dan mungkin nggak mau ngerti. Segment 4: Sebuah Pertanyaan untuk Kalian Sebelum aku tutup, aku ada pertanyaan untuk direnungkan: kapan terakhir kali kamu jujur sama diri sendiri? Kapan terakhir kali kamu berhenti nge-push diri kamu buat jadi ‘kuat’ dan ngasih ruang buat semua rasa sakit yang selama ini kamu pendam? Kalau kalian relate sama apa yang aku sampaikan, feel free untuk DM aku di Instagram atau mention aku di Threads; @wrzky Aku pengen denger cerita kalian, karena aku tahu kita semua punya kisah yang butuh didengar. ‘Makasih udah dengerin ya Ini baru awal. Di episode berikutnya, aku bakal cerita lebih dalam tentang bagaimana trauma membentuk cara kita hidup—dan gimana kita bisa mulai lepas dari bayang-bayang itu. Sampai ketemu lagi. Ingat, kamu nggak sendiri. Wasalaamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh…